Home » » REFLEKSI PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DALAM MOTIF BATIK DI SURAKARTA

REFLEKSI PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DALAM MOTIF BATIK DI SURAKARTA


REFLEKSI PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DALAM
MOTIF BATIK DI SURAKARTA



1. Pendahuluan
              Surakarta adalah kota yang dinamis dalam perubahan sosial budaya. Kota budaya ini kaya dengan aktivitas dan karya seni budaya yang diakui oleh masyarakat internasional. Salah satu bentuk seni yang sampai saat ini masih eksis ialah seni batik. Batik adalah salah satu warisan tradisi yang saat ini terus berkembang menyesuaikan diri dengan zaman. Kegiatan batik pun masih kontekstual, khususnya di Surakarta. Dewasa ini, pemerintah berusaha menghidupkan sentra industri batik di Surakarta dengan sebutan kampung batik yang diharapkan kampung ini akan menjadi ciri khas kota Surakarta yang kota industri batik. Batik Surakarta juga mempunyai andil di dalam perjuangan bangsa Indonesia.
            Sebagai bentuk seni, batik memang berkaitan erat dengan kondisi sosial budaya. Sebagaimana diungkapkan Janet Wolff (1981) bahwa seni merupakan produksi sosial. Di dalam produksi seni terkandung ideologi. Karya seni dalam kutub individual dan kolektif. Karena itu dengan tegas Wolff menyatakan bahwa seniman berkarya tidak dalam suasana terioslasi dari situasi sosial politik (1991:27).  Hal ini menunjukkan bahwa tumbuh dan berkembanganya berkaitan dengan kondisi sosial budaya.
            Perkembangan batik sebagai karya seni juga tidak lepas dari kondisi sosial budaya yang menjadi latar belakang produksi seni. Motif-motif batik ternyata juga muncul akibat perubahan sosial budaya. Sebagai misal, motif parang muncul berkaitan dengan usaha Panembahan Senopati untuk memiliki ciri kultural tersendiri ketika ia melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Karena Panembahan Senopati banyak mendapat ilham Parangkusuma, maka terciptalah motif parang yang berasal dari kata Parangkusuma tersebut. Motif ini pun kemudian berkembang sesuai tuntutan zaman sehingga muncul motif derivasi parang seperti parang barong, parang curiga, parang menang,  dan sebagainya (Sarwono, 2005). Nuansa sosial histrosi munculnya motif tersebut belum banyak dikaji dan diperhatikan para ahli.
            Gambaran perubahan sosial yang tercermin dalam motif batik perlu dikaji untuk menambah pemahaman tentang motif tersebut yang pada akhirnya akan mengangkat nilai batik dan sebagai bukti proses kreatif dan penciptaan suatu karya seni untuk mendapatkan pengakuan dunia.

2. Perumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan batik di Surakarta. Sebagai kota batik dan penuh dengan perubahan sosial budaya yang dinamis, apakah hal itu mempengaruhi motif-motif batik yang muncul dan berkembang? Kalau demikian, bagaimanakah wujud motif-motif batik tersebut?     
Selanjutnya, perubahan sosial budaya apa sajakah yang tercermin dalam motif-motif batik di Surakarta? Demikian rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan variabel motif batik kontemporer dan hubungan motif batik tersebut dengan perubahan sosial budaya yang terjadi.
Target penelitian ini ialah mendeskripsikan motif-motif batik kontemporer dan menjelaskan kemunculan motif batik tersebut dari segi ideologi, perkembangan sosial budaya.          
Lokasi penelitian ini di Surakarta yang dikenal sebagai kota batik yang di dalam kota Surakarta, baik batik tradisi maupun batik kontemporer (modern) berkembang dengan baik. Hal ini didukung oleh dukungan pemerintah dengan adanya kampung batik.
Sesuai dengan jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) wawancara informal (indepth  interview) kepada para informan lain yang sudah disebutkan di atas; (2) observasi terlibat dan tak terlibat dilakukan terhadap peristiwa dan tingkah laku informan/sumber data; (3) dokumentasi untuk menganalisis motif-motif batik lebih detail akan digunakan teknik dokumentasi dengan cara merekam ke dalam file elektronik (foto digital) karya batik kontemporer dan hal-hal yang berkaitan dengannya; (4) kajian dokumen tertulis (content analysis) ditempuh membaca dokumen tersebut serta mencatat dalam displai data hal-hal yang sesuai dengan tema penelitian, (5) kajian dokumen nontertulis (foto, rekaman, dan sebagainya)    dengan diakukan dengan cara observasi simak, (6) observasi artefak dengan cara mengamati artefak-artefak yang ada seperti karya batik, dan(7) observasi peristiwa, yakni mengamati peristiwa yang berkaitan dengan batik dan penciptaannya.
Dalam penelitian ini validitas data diuji dengan menggunakan trianggulasi data, yakni peneliti menggunakan beberapa sumber data untuk mendapatkan data yang sejenis (Sutopo, 1988:31) sehingga didapat pemahaman lintas data yang menyeluruh. Validitas data juga akan diperkuat dengan cara peer debriefing (lihat Nasution, 1992:117).
Model yang digunakan dalam analisis data ini mengambil model analisis interaktif (lihat Miles dan Huberman, 1993:20), yakni ketiga komponen analisis data saling berinteraksi selama proses penelitian. Analisis ini dengan demikian dilakukan di lapangan dan dicatat dalam fieldnote-fieldnote untuk selanjutnya hasilnya digunakan dalam penyusunan laporan penelitian final.

4. Hasil Penelitian

4.1. Motif KORPRI
Motif yang digunakan oleh organisasi juga mencerminkan perubahan sosial budaya yang terjadi. Motif tersebut menyuarakan perubahan yang terjadi di dalam organiasi tersebut. Hal ini tampak pada motif batik KORPRI (Korp Pegawai Republik Indonesia). Pada masa orde baru, para anggota KORPRI dan keluarganya adalah pendukung utama GOLKAR (Golongan Karya). Partai ini merupakan partai politik terbesar yang merupakan kendaraan utama ORDE BARU. Berbagai penekanan dan intimidasi diberikan kepada pegawai negeri agar memilih GOLKAR. Di antaranya pernyataan bahwa anggota KORPRI yang tidak memilih GOLKAR adalah pengkhianat karena pimpinan KORPRI sudah menyatakan setia kepada GOLKAR. Karena itu, di dalam KORPRI dikenal monoloyalitas atau setia kepada satu partai saja yaitu GOLKLAR.
            Pada masa ini KORPRI memiliki baju seragam berupa motif baru berdasar putih dengan motif biru. Perhatikan motif berikut.
            Motif di atas terdiri dari lung-lungan dan buketan, tetapi yang menjadi motif utama adalah bentuk lencana yang terdiri dari gambar pohon beringin, gambar rumah dan dua sayap. Di dalam Pancasila, pohon beringin merupakan simbol persatuan. Dalam gambar tersebut, selain bermakna persatuan, simbol tersebut menyiratkan bahwa KORPRI adalah pendukung GOLKAR yang utama. Gambar rumah mencerminkan gambaran organisasi atau pemerintah Indonesia tempat para pegawai negeri sipil mengabdi. Jadi, dalam hal simbol, KORPRI tampak mengambil silmbol GOLKAR yang berupa pohon beringin sebagai simbol yang paling utama. Hal ini nanti akan lebih ditegaskan dalam lencana KORPRI.
            Pada tahun 1996, Indonesia mengalami masa reformasi. Terjadi suatu arus perubahan sosial politik di berbagai aspek pemerintahan. Hal yang menonjol adalah semakin pudarnya GOLKAR dalam kancah pemerintahan. Kalau pada masa ORDE BARU, hampir semua pejabat pemerintah berasal dari GOLAKR, maka pada era reformasi terjadi pergeseran. Pergeseran tampak dari munculnya pejabat dari berbagai golongan, khususnya kalangan partai. Kabinet Pemerintah Indonesia disebut Kabinet Persatuan/ Kabinet Gotong Royong di mana setiap elemen masyarakat/ partai dapat menjadi pejabat/ menteri. Era ini ditandai pula dengan adanya pemilihan kepala daerah dari kalangan  umum sehingga pejabat pemerintah pun bersifat variatif. Kondisi ini kemudian muncul dalam motif batik KORPRI. Motif batik KORPRI telah menghilangkan unsur pohon beringin dan menonjolkan Pancasila sebagai asas utama bangsa Indonesia. Dari segi warna, motif batik seragam KORPRI pada masa ORDE BARU didominasi warna biru, sementara motif batik di era reformasi ini didominasi warna hijau muda dengan berbagai kemunculan warna biru, hijau, kuning) dengan gambar garuda Pancasila menjadi penekanan (inti subjek).  Perhatikan motif batik seragam KORPRI berikut.
Gambar: Motif Batik Seragam KORPRI di era Reformasi

4.2. Kekayaan Alam Indonesia
Anggrek adalah bunga yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Anggrek merupakan bungan yang banyak ragamnya, namun ciri khasnya bahwa anggrek memiliki bunga kecil yang indah. Kekaguman pada anggreks ini tercermin dalam suatu motif yang diilhami oleh bunga anggrek dan motif tersebut disebut motif anggrek.
Munculnya motif anggrek ini merupakan bagian dari dinamika batik Indonesia, yakni motif-motif batik yang mengusung kekayaan budaya dan alam Indonesia. Hal ini merupakan wujud keterbukaan budaya Jawa dalam pengembangan kreasi melalui seni batik.
            Controh lain pengusungan kekayaan flora fauna Indonesia ke dalam motif batik ialah munculnya motif Raflesia. Raflesia adalah nama bunga yang khas yang merupakan simbol kebanggaan masyarakat Bengkulu karena bunga ini dianggap satu-satunya bunga raksasa yang hanya ada di Indonesia.
            Bunga raflesia merupakan bunga yang khas. Bunga ini berbau bangkai dan hanya muncul pada saat tertentu dan termasuk kekayaan alam Indonesia yang khas.  Kekaguman terhadap bunga raflesia ini muncul pada suatu motif yang menonjolkan gambaran bunga raflesia. Meskipun bunga reflesia bukan kekayaan alami Jawa, tetapi pelukis batik ini merasakan bahwa bunga tersebut patut diabadikan dalam suatu motif khusus yang diberi nama bunga tersebut.

Gambar Motif Batik Raflesia
            Kekaguman pada kekayaan alam Indonesia tampaknya menjadi salah satu trend motif batik, khususnya kekayaan alam yang terkenal. Salah satu kekayaan alam yang tidak terkenal, tetapi karena pulaunya yang terkenal, maka kekayaan alam tersebut menjadi terangkat. Hal ini tampak dalam motif pisang Bali.
            Beberapa kekayaan alam memang sering dikaitkan dengan Pulau Bali seperti jeruk Bali dan salak Bali. Pulau Bali adalah pulau yang sangat terkenal. Pisang Bali muncul dalam motif batik dalam rangka menumpang ketersohoran Pulau Bali.


Gambar: Motif Pisang Bali
            Kemunculan motif ini sangat berkaitan dengan nuansa religius yang diusung oleh pisang Bali. Bagi masyarakat Bali, pisang Bali merupakan komoditi yang bermakna sakral yang digunakan di dalam banten (sesaji). Karena pentingnya, maka komoditi tersebut dimunculkan dalam motif batik. Hanya saja, bagi masyarakat di luar Bali yang belum mengetahui fungsi dan makna pisang Bali, tidak dapat merasakah getaran makna religius yang dibawa oleh motif tersebut.
Indonesia juga kaya akan kekayaan alam laut. Kekayaan alam laut biasanya dimunculkan oleh batik-batik pesisiran, tetapi dewasa ini hal tersebut tidak lagi mendominasi. Di Surakarta, batik yang menonjolkan kekayaan laut di antaranya dimunculkan oleh batik colet karya Dartono. Karya Dartono ini memunculkan nuansa laut karena kain memang diperuntukkan untuk pakaian pantai (sarung pantai). 
Di Surakarta, motif dengan gambar ikan menjadi cukup menonjol sejak semakin meluasnya pemakaian batik untuk berbagai keperluan. Contoh yang menonjolkan motif ikan ialah kemeja karya Bambang Slameto, S.Sos (pemilik Batik Merak Manis).
Interaksi orang Jawa dengan alam sekitarnya dapat menciptakan karya seni yang merefleksikan peristiwa alam. Salah satu bentuk karya seni tersebut berupa tarian merak yang disebut Tari Merak Ngigel yang menggambarkan burung merak yang sedang menari memamerkan keindahan bulunya. Tari ini merupakan tari tradisional yang cukup terkenal. Peristiwa ini juga tercermin dalam motif batik yang menggambarkan kekayaan fauna Jawa dengan judul motif merak ngigel sebagai berikut.

Gambar Batik Motif Merak Ngigel (Merak Menari)
            Merak ngigel adalah gambaran merak yang sedang menarik lawan jenis. Setelah lawan jenis tertarik, maka terjadilah perkawinan. Dalam bahasa Jawa, berpadunya cinta disebut karonsih (bercampurnya cinta). Karonsih juga menjadi salah satu nama tarian yang biasanya dipentaskan di tengah-tengah hajat perkawinan. Dalam motif batik, muncul pula motif karonsih yang tidak lain adalah penggambaran dua ekor merak yang sedang bercinta seperti gambar berikut.




Gambar Motif: Karonsih (Dua ekor merak bercinta).
            Kekayaan alam juga tergambar dakam bentuk sumber-sumber makanan dan pakaian. Lazimnya istilah tersebut disebut sandang pangan. Sandang pangan merupakan ikon kemakmuran yang pada umumnya digambarkan dalam bentukp adi dan kapas. Di samping sandang pangan, kesehatan juga merupakan hal penting. Dalam istilah Jawa, konsep tersebut disebut dengan:“murah sandang pangan, seger kewarasan” artinya sandang dan pangan murah serta tubuh sehat walafiat.
Konsep sandang pangan juga muncul di dalam motif batik. Hanya saja, tampaknya desainer memahami konsep sandang pangan dengan konsep yang lebih luas, yakni bukan hanya padi dan kapas. Dalam motif sandang pangan yang digambarkan adalah aneka sumber sandang dan pangan seperti gambar berikut.

Gambar: Motif sandang pangan

4.3. Unsur Mitologi Jawa a dalam Motif Batik
Cerita-cerita mitologis juga masih sering tercermin dalam motif batik sebagai sumber inspirasi. Cerita mitologis Jawa tentang ular besar (naga) yang dalam cerita Angling Darma dapat tata jalma (berbisik) muncul dalam sebuah motif batik model buketan yang diberi nama “buketan naga bisikan latar gabar sinawur” yang artinya motif buket berbentuk naga yang sedang berbisik-bisik dengan latar belakang gabar yang disebar. Ide naga tersebut juga terilhami dari berbagai verita rakyat sepertik isah Nagasasra sabuk inten dan ornamen naga simbol kraton Yogyakarta yang diberi nama Drwi Naga Rasa Tunggal (sengkalan). Motif ini pasti diilhami dari mitos-mitos

Gambar:buketan naga bisikan
            Motif yang menggambarkan kisah mitologis adalah motif semen gajah birawa. Tidak jelas mengapa motif ini diberi nama gajah birawa. Yang jelas, motif ini memang mengandung unsur semen (pucuk muda)  dan gajah. Hanya saja, tambahan kata birawa mungkin menjadi membingungkan.. Bhirawa bermakna dewa Siwa sehingga gajah bhirawa dapat dimaknai gajah dewa Siwa. Sebutan birawa juga menunjukkan kemarahan (sifat Siwa sebagai dewa perusak).  Namun, apa pun pemahamannya, munculnya motif batik ini telah memperkaya khasanah motif batik Indonesia.





5. Kesimpulan dan Saran

Surakarta adalah kota batik. Beberapa di wilayah Surakarta dianggap sebagai kampung batik.  Perubahan sosial budaya yang terjadi dewasa ini mempengaruhi perkembangan desain motif batik. Perubahan tersebut terjadi akibat tuntutan pasar dan perkembangan masyarakat yang telah menggeser kain batik sebagai bagian tradisi dan upacara yang mengandung nilai filosofis menjadi kain keseharian yang bebas dipakai untuk keperluan apa saja.
            Beberapa motif mengalami perubahan akibat perkembangan filosofi dan politik, sosial budaya. Hal ini tampak pada motif seragam KORPRI yang dahulu didominasi gambar beringin yang identik dengan GOLKAR. Pada era reformasi, KORPRI tidak lagim enjadi underbow GOLKAR sehingga simbol pun berubah menjadi motif KORPRI baru yang menekankan pada gambaran Pancasila.
            Perkembangan tersebut juga tercermin dari teknik pembuatan kain batik yang menggunakan teknik-teknik serta memadukan teknik tradisi dengan teknik modern seperti penggunaan teknik colet, airbrush, printing, cap, dan sebagainya.
            Pada hakikatnya, motif batik juga muncul akibat peristiwa sosial budaya dan memiliki interaksi dengan jenis seni lain seperti tari-tarian. Motif juga memunculkan kekaguman seniman terhadap kekayaan alam dan budaya Indonesia. Artinya, motif tidak lagi terbatas pada tema-tema Jawa, melainkan sudah memasuki tema nasional seperti motif bunga raflesia, bahkan juga tema internasional seperti motif leopard (macan tutul Afrika).
Beberapa kesulitan yang dihadapi adalah sulitnya untuk mewawancarai para pengusaha batik karena kesibukan mereka. Dari empat perusahaan batik tersebesar di Surakarta, hanya dari pihak Danar Hadi yang berhasil diwawancarai.
Sementara itu, untuk mendapatkan foto-foto desain motif batik lewat produk. Yang diizinkan hanya mencatat. Sementara itu, para desainer pada umumnya enggan diwawancarai karena aturan perusahaan/ ketaatan pada pimpinan. Namun, untuk proses produksi diizinkan untuk mengambil foto-foto kegiatan.
            Penelitian ini belum dapat menggambarkan secara utuh perkembangan motif batik di Surakarta. Karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan dana yang lebih besar, scop yang  lebih luas, dan waktu yang lebih leluasa (multi years).
           
DAFTAR PUSTAKA

Doellah, H. Santosa.  2002. Batik: The Impact of Time and Enviroment. Surakarta: Danarhadi.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Handayani, Sarah Rum. 2002. Makna Simbolis Pola Sidomukti dalam Perkawinan Adat Jawa di Surakarta. Surakarta: Fak. Sastra dan Seni Rupa, UNS.
Hitchcock, Michael. 1991. Indonesia Textiles. Findon: Periplus Edition.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Mataya. 2006. Festival Seribu Anak Membatik. Surakarta.
Maxwell, Robyn. 1990. Textiles of Souteast Asia: Tradition, Trade and Transformation.. Singapore: Periplus.
Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisanga. Kudus: Penerbit Menara
Sarwono. 2004. “Pendekatan Hermeneutik Simbolisme Motif Parang”. dalam Etnografi: Jurnal Penelitian Budaya Etnik. No:04 Vol. 05 Juni 2004.
Sarwono. 2005. “Hermenutik Simbolisme Motif Parang dalam Busana wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta”.  dalam Etnografi: Jurnal Penelitian Budaya Etnik. No:04 Vol. 05 Juni 2004.
Soedarso SP. 1986. “Benturan Nilai-nilai Tradisional danModern dalam Kesenian, Khususnya Seni Rupa yang Ada di Jawa” dalam, Soedarsono dkk.  Pengaruh India, Islam, dan Barat dalam Proses Pembentuan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Usawatun. 2005. “Dinamika Batik Gedhog Tuban”. Jakarta:  Profil Wanita.
Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York: St. Martin's Press.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Random Post

Test Footer

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Said Site - All Rights Reserved
Responsive by Mas Yadi Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger